PENGANTAR KURATORIAL

MEMBACA TANDA ALAM

 

 

Pameran tunggal karya-karya lukisan abstrak dan instalasi Sri Pramono diselenggarakan di Belleuve Art Space, dalam rangka turut memeriahkan ‘Hari Bumi’ yang jatuh pada tanggal 22 April. Namun berdasarkan beberapa pertimbangan, pameran yang bertemakan ‘Hari Bumi’ ini baru bisa diselenggarakan pada tanggal 27 April s. d. 19 Mei 2024. Pameran ini mengetengahkan judul “Membaca Tanda-tanda Alam”.

Karya-karya yang terpajang mengutarakan pengalaman Sri Pramono sebagai ‘pegiat alam’ yang kerap mendaki gunung. Kalimat “Tanda-tanda Alam” seperti tertera pada judul pameran adalah ungkapan rasa kedekatannya terhadap alam, bahwa sesungguhnya alam bukanlah sesuatu benda mati. Dasar kepercayaan nenek moyang kita yang disebut ‘animisme’, mengangap bahwa pada hakikatnya semua benda di alam ini memiliki ‘ruh’.

Sri Pramono sebagai seorang ‘pegiat alam’, sudah lama mengamati perkembangan alam, seperti penggundulan hutan, semakin menyempitnya lahan-lahan pertanian dan semakin keringnya keadaan lingkungan. Proses pengamatan itu yang menginspirasi karya-karya lukisannya dalam bentuk bahasa ‘tanda’, seperti warna, tekstur, garis, bahkan graffiti-grafiti.

Untuk memahami ‘tanda-tanda alam’ dalam karya-karya lukisan abstrak Sri Pramono, saya mengetengahkan dasar analisis tanda dari teori Roland Bartes, yang dibongkar dengan teori ‘Dekonstruksi’ Derrida. Dalam teori ‘Dekonstruksi’ Derrida disebutkan bahwa ‘dekonstruksi’ adalah suatu kata yang mewakili ‘hasrat jiwa’ untuk membongkar bangunan sistem yang sudah mapan dari bagian-bagian konstruksinya. Dekonstruksi yang dilakukan merupakan suatu tindakan pembongkaran yang radikal karena berani menghancurkan sistem pemahaman yang sudah mapan, dan dianggap paling benar (logosentris).

 Tanda-tanda yang didekonstruksi oleh Sri Pramono adalah ‘tanda-tanda’ yang didefinisikan oleh ilmu pengetahuan modern. Dalam teori semiotik Roland Barthes tanda terdiri dari dua sistem pemaknaan, yakni denotasi dan konotasi. Dalam suatu tanda, terdapat apa yang disebut penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier) adalah kesan indrawi yang dirasakan seseorang dari suatu tanda, sedangkan petanda (signified) adalah persepsi kesan indrawi berupa gambaran mental, pikiran, atau konsep yang muncul dari persepsi tentang sebuah tanda. Gunung, alam dan kehidupannya adalah sumber kesan pada seorang penanda (signifier), sedangkan perasaan seseorang yang terpengaruh sehingga melahirkan persepsi oleh kesan indrawinya adalah petanda (signified). Kedua aspek tersebut melahirkan makna denotasi atau makna kamus yang melahirkan definisi-definisi. Makna denotasi tersebut jika digabungkan dengan petanda yang lebih luas penafsirannya, maka akan membentuk makna konotasi yang oleh Barthes disebut ‘mitos modern’. ‘Mitos modern’ merupakan sekumpulan gagasan dan praktik yang secara aktif mempromosikan berbagai kepentingan dari kelompok dominan dalam masyarakat. Nilai mitos inilah yang menimbulkan persoalan mentalitas pada Sri Pramono berupa gambaran kekhawatiran tentang alam.

Pembahasan karya-karya dalam pameran ini dibuka dengan mengetengahkan karya instalasi yang diberi judul “Shift Perception” (2024), yang diartikan sebagai perubahan cara pandang kita terhadap alam. Rasa hormat kita terhadap alam diwujudkan dengan ‘Perayaan Hari Bumi’, yang sebenarnya untuk mengingatkan kita supaya kita memperlakukan alam sebagai mana mestinya. Tetapi dewasa ini muncul suatu kebiasaan ‘plesir’ yang tidak lain merupakan gaya hidup kaum kapitalis. Mereka menyebut kegiatannya dengan istilah ‘my trip my adventure’, ‘my live is an adventure, ‘cinta bumi Indonesia’ dan lain sebagainya. Kegiatan ‘plesir’ kemudian dipertontonkan dalam media sosial ‘facebook’, ‘Instagram’, ‘tiktok’ dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya memberikan gambaran realitas semu dengan logika yang dangkal, seperti ‘cinta alam Indonesia’ yang mana kecintaan terhadap alam digambarkan bukan dengan memelihara kealamian hutan yang belum terjamah oleh sistem modernitas, namun justru berbondong-bondong dengan datang ke pelosok negeri untuk kemudian merubah kawasan yang masih alami menjadi ‘kawasan wisata’. Tindakan semacam ini justru akan menyeret ‘keselarasan kehidupan alami’ untuk masuk ke dalam sistem hiburan global yang dikuasai oleh jaringan TV, internet, maupun media sosial yang merupakan muara dari berbagai pergolakan hasrat kepuasan sesaat sebagai ‘mitos modern’.

Konsepsi karya-karya lukisan yang memperlihatkan ‘dekonstruksi’ antara lain lukisan yang berjudul “Mengurai Benang Merah” (2024) terungkap tentang simbol-simbol berupa warna hitam, tekstur berwarna putih, coklat dan kuning. Karya itu mengungkapkan kerusakan unsur-unsur alam yang ditandai oleh kerusakan ekosistem akibat penggundulan hutan yang mengakibatkan erosi, kekeringan, tanah longsor dan rantai makanan yang terputus. Dari sini kita bisa memahami ‘benang merah, antara kerusakan alam dan penyebabnya. Penyebab kerusakan alam yaitu hasrat manusia mengakibatkan tumbuhnya mentalitas yang disebut ‘shadow’, yaitu tindakan-tindakan emosional yang berhubungan dengan ketidaksadaran kolektif yang dilakukan oleh banyak pihak untuk mendapatkan sumber daya alam dengan cara mengeksploitasi dan merusaknya. Manusia modern sudah tidak percaya lagi terhadap cerita-cerita ‘mithologi’ yang bersumber dari pemikiran keseimbangan alam. Cerita-cerita ‘mithologi’ itu sudah dianggap ‘mitos lama’ yang kemudian terlindas oleh ‘mitos modern’. Apa yang dimaksud ‘mitos modern’, seperti terdapat dalam teori Roland Barthes, yaitu pembenaran terhadap nilai-nilai logika yang dipromosikan oleh kaum penguasa kapital.

‘Mitos modern’ inilah yang kemudian menjadi ‘sistem’ dari para penguasa kapital untuk menguasai pikiran manusia dengan melegitimasi kekuasaan rasio. Manusia bukan makhluk yang bebas melainkan makhluk yang terikat oleh struktur yang diciptakannya sendiri. Segala gerak-gerik manusia sudah terikat dengan struktur ‘sistem’ sehingga manusia ibarat robot yang bergerak sesuai dengan sistem yang mengendalikannya.

Karya-karya Sri Pramono bisa dikatakan sebagai therapy yang menggunakan perasaannya dalam menganalisis perubahan alam sehingga menemukan persepsi estetika yang paling individual. Seni lukis abstrak Sri Pramono, dalam pandangan saya, termasuk seni ‘outsider’, suatu ekpresi pemberontakan dari dalam batinnya ketika ia ingin meraih kebebasan tanpa terbebani oleh apapun yang mengungkungnya. Yang diberontak bukan keadaan sosial, melainkan sistem yang sudah mapan, yang mempengaruhi masyarakat dewasa ini dalam ‘membaca tanda-tanda alam’.

    

Yogyakarta, 20 Maret 2024

Aa Nurjaman

Kurator

This website stores cookies on your computer. Cookie Policy